Selasa, 06 April 2010

REFLEKSI APRILIAN

Oleh : Jujuxs Ketjink

Dengan telah tertangkapnya Gayus H. Tambunan, belum terungkapnya kasus century dan telah ditangkapnya makelar-makelar kasus, sampai pada koruptor-koruptor baru, maka ciut sudah nyali-nyali para koruptor Indonesia yang akan melakukan pemanipulasian keuangan baik di tingkatan Nasional maupun tingkatan Lokal seperti daerah atau Propinsi, walau sudah ada percontohan yang demikian masih saja membuat jera bagi para koruptor-koruptor baik yang ada di tingkatan pusat maupun di tingkatan daerah.

Pencopotan rantai mafia perpajakan dan Makelar kasus bukan berarti akan mampu menurunkan angka kasus korupsi di Indonesia, justru akan menambah karena seperti yang disampaikan oleh obrolan-obrolan di Warung Kopi oleh para pemuda-pemuda bahwa : "Maksus (Makelar Kasus) mungkin saja sudah hilang, namun yang masih meroket dan naik daun adalah Maksal (Makelar Proposal) yang mungkin setiap tahunnya akan bertambah, yang semula 10% menjadi 30% bahkan mungkin akan lebih.

Kolektivitas kasus yang semacam ini akan menjadi alternatif lain dalam melegalkan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Semoga kasus-kasus yang terjadi saat ini akan menjadi percontohan bagi orang-orang maupun lembaga-lembaga di pemerintahan saja, melainkan di lembaga-lembaga pendidikan pun juga harus ada perombakan yang signifikan terutama pada pendidikan moral siswa yang mengarah pada Pendidikan Moral Pancasila agar mereka betul-betul berfikir apa untung dan ruginya terhadap negara jika kasus korupsi marak di Indonesia, dan bagaimana nasib negara nantinya jika masyarakatnya sudah tidak memiliki lagi pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Inilah saatnya kita harus mereview ulang atas kasus-kasus yang sering terjadi di Indonesia, mulai sering terjadinya banjir di beberapa propinsi, longsor di beberapa kebupaten di Indonesia, maraknya korupsi di beberapa daerah di Indonesia, sampai pada meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kepadatan penduduk, meningkatnya perselisihan sesama masyarakat yang di latar belakangi persoalan sepele, meningkatnya kepentingan-kepentingan, meningkatnya lobi-lobi politik yang semuanya hanyalah mengumbar suara kosong saja, meningkatnya pelacuran dan penyakit menular seksual, dan lain sebagainya. Apakah semua kasus tersebut memang wajar terjadi di Negara kita yang lebih mengedepankan nilai moral dari pada nilai non moral, atau negara yang lebih mengedepankan nilai-nilai etika dari pada estetika? ataukah kasus itu wajar terjadi di Negara yang mengedepankan nilai-nilai religi dari pada nilai-nilai pengetahuan? Jika kalau memang itu wajar ya ..... sudah, dan jika itu tidak wajar bagaimana kita bersama-sama akan merubahnya?

Memang ada benarnya juga perdebatan-perdebatan yang kosong dan dilakukan oleh beberapa orang yang mengatas namakan dirinya pandai dan mampu memimpin daerah "buat apa kita berfikir tentang masyarakat, toh dia tidak akan pernah memberikan konstribusi apa-apa pada kita", sehingga benar pula yang dinyanyikan oleh Slank "Tong kosong nyaring bunyinya, banyak orang omong kosong tak ada buktinya" diperkuat lagi oleh ungkapan Mangunwijaya "Semakin orang atau masyarakat itu pandai, maka dia orang (masyarakat) tersebut akan memangsa saudaranya sendiri". Ini menunjukkan bahwa diri kita masih hanya berfikir untuk kepentingan perseorangan dan kelompok kita saja dari pada berfikir untuk masyarakat secara luas, dan hanya berfikir apa yang saya dapatkan dari masyarakat dari pada berfikir apa yang akan aku berikan pada masyarakat.

Realitas yang demikianlah yang mampu menghegemoni seluruh kalangan masyarakat untuk selalu acuh tak acuh pada kejadian-kejadian yang sering terjadi disekeliling kita, "Nggo opo awak dewe teko, wong gak onok amplope wae, malah awak dewe sing ngamplopi je, lak tekor terus, kejienen" inilah ungkapan-ungkapan yang sering terlontar di masyarakat ketika mereka mendapatkan undangan walimahan, atau undangan yang lainnya dan berkaitan dengan "buwoh" (bahasa Jawa), atau ketika pada masa pemilihan baik itu pemilihan presiden, gubernur sampai pada bupati "nggoh opo awak dewe nyoblos, wong gak ono amplope wae, kok nek dek'e dadi yo bakale lali karo awak dewe sing dadekno"

Ungkapan-ungkapan tersebut adalah bentuk penolakan masyarakat, karena memang mereka sudah jenuh terhadap konstalaasi kehidupan yang terjadi disekitarnya, dan pada akhirnya segala sesuatunya akan diperhitungkan dengan materialistik, kalau dalam bahasa jawa "Kabeh iku kudhu onok duwike', nek gak ono duwike gak usah lah" (Semua itu harus ada uangnya, kalau tidak ada uangnya tidak usah).

Apakah budaya semacam ini akan kita teruskan atau akan kita hentikan semua itu tergantung pada keinginan dan tindakan dan bukan tergantung pada sebuah keinginan atau fikiran kita yang ingin merubahnya namun tidak ada tindakan sama sekali, dan jika ini kita larutkan dalam euforia-euforia secara terus menerus, maka tak salah jika pendidikan moral pancasila dan pancasila sebagai padangan hidup bangsa akan hilang dan tidak ada yang mengenalnya, bahkan jumlah sila pada pancasila pun dia tidak akan tau, karena tidak pernah diajarkan baik oleh guru maupun masyarakatnya.

Tulisan ini hanyalah sebuah tulisan kecil dari orang ndeso yang betul-betul gerah terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia, dan mohon untuk diacuhkan, karena tulisan ini tidak ada manfaatnya bagi diri kita, keluarga, maupun masyarakat kita. sekian dan terima kasih atas perhatian dan kritikannya kami tunggu dalam edisi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar