Rabu, 28 April 2010

Sekolah, Paulo Freire dan Pendidikan Alternatif


Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.
Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.
Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.
Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sekilas tentang Paulo Freire
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.
Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.
Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.
Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.
Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan (formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.
Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.
Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?
Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme! ***

Sabtu, 17 April 2010

IDEALNYA PACARANKU
Oleh : Jujuxs Ketjink VenoTI

“Ha…..” ungkap Deden memutuskan lamunanku yang lagi muncak-muncaknya, sehingga pudar sudah harapan yang telah aku konsentrasikan sejak 2 jam yang lalu.
“Kau mau membunuhku secara sengaja, atau memang benar-benar ingin menggodaku” ungkapku dengan nada tinggi dan terlihat serius, didukung pula muka yang kaku dan mata yang merah karena habis minum alcohol yang berkadar rendah. Walau aku tidak mabuk, namun Deden menganggap bahwa aku sedang mabuk, dia pun ketakutan melihat diriku yang marah, padahal aku bukan marah seperti yang disangkakan oleh Deden.
Akupun terus menggoda Deden dengan ungkapan yang serius “Apa maksudmu mengganggu konsentrasiku…. Kamu telah mengacaukan harapanku, harapan yang nilainya bukan jutaan, namun milyaran, jika konsentrasiku putus, maka putus sudah harapanku tentang milyader” sambungku dengan nada yang kutambah ketinggiannya, agar Deden lebih takut lagi melihat wajahku yang telah ku setting agar Deden betul-betul memohon ma’af padaku.
“Ma’af Jo… Bukan maksudku mengacaukan harapanmu. Baiklah aku akan pergi, jika dengan kedatanganku ini kau merasa harapanmu telah sirna …!” Dengan wajah yang sedikit muram Deden membalikkan tubuhnya lalu berjalan secara pelan-pelan memunggungiku. “Den…..Den….Den….” panggilku semakin lama semakin keras, sambil aku menghampirinya dan memegang erat tangannya kuseret ia untuk kembali “Aku bukan memarahimu, memang raut mukaku kucemberutkan karena aku senang sekali melihat wajahmu yang lagi ketakutan” sapaku sambil kutertawakan ia dan kugoda layaknya aku menggoda cewek yang cantik dan manja, agar ia mau kuajak untuk ngopi bersama diwarungnya Buk Tom dekat Kampusku yang sangat rindang, sejuk dan nyaman.
Tanpa basa basi Deden pun menerima ajakanku untuk ngopi bersama. Sambil berjalan berdampingan kucoba menyapanya untuk memecahkan keheningan selama  perjalanan dari kampus depan menuju warung Bu Tom agar tak terlihat seperti orang bermusuhan berjalan secara berdampingan. Kucoba mengalihkan perhatiannya agar ia mau merespon pembicaraan yang telah aku lontarkan padanya, karena ia masih tetap diam, maka “Den… kau ini seperti anak kecil saja” celetukku dengan nada yang agak sewot, namun ia masih tetap tidak meresponku, “kamu marah ya…. Dengan perlakuanku tadi?, atau kau tidak senang ya…? Apa memang …. kau takut dengan wajah ketat dan mata merah?” lanjutku yang masih menginginkan Deden untuk berbicara . “Ya….” Jawab deden dengan suara yang pelan.
“Kau pernah ada pengalaman tentang mata merah dan muka ketat ya….” Sambungku dengan penuh selidik, karena wajah ketat  dan mata merah itu lebih identik pada seseorang yang baru saja minum-minuman beralkohol, namun tidak biasanya Deden terlihat semarah itu. “Memang pernah aku memiliki pengalaman yang semacam itu” Jawab Deden dengan suara yang paruh baya. “Wah, malah bikin aku penasaran saja” ungkap Karjo dengan penuh semangat, karena ia menyelidiki, adakah teman-teman dekatnya yang suka minum-minuman beralkohol, agar ketika ia minum-minuman beralkohol ada teman yang menemaninya.
Deden pun bercerita ngalor ngidul sama Karjo semasa dia masih kuliah di suatu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, bahwa Deden pernah merasakan pahit manisnya kehidupan semasa di Jakarta, “jangankan Alkohol, semua Napza sudah pernah aku rasakan, mulai dari Ganja yang berbentuk daun bersirip lima dengan gerigi gaji dipinggirnya sudah pernah aku hisap. Alkohol berjenis apapun juga pernah aku minum, mulai yang mahal sampai yang paling murah (tuak misalnya), apalagi jenis-jenis psikotropika semua sudah pernah aku rasakan, dan bukan itu saja. Menyetubuhi wanitapun pernah aku lakukan. “ Ungkap Deden dengan penuh semangat.
“Masak Den, sebegitu parahnya kamu……” Ungkapku dengan rasa penasaran yang tinggi, tak terasa aku sudah berada didepan kantinnya Buk Tom. Aku dan Deden langsung meluncur masuk dan memesan dua cangkir kopi pahit, karena aku dan Deden sama-sama suka kopi pahit untuk menambah nikmatnya hisapan rokok yang katanya orang-orang merokok tanpa ada campuran kopi bagaikan buah jika dimakan tidak ada rasanya sama sekali alias “ampang kabeh utowo adhem njejep” (dalam bahasa Jawa Tengahan).
Deden pun melanjutkan ceritanya sambil menunggu kopi yang baru dibuatkan oleh Buk Tom “Waktu aku kuliah dulu kondisiku sangatlah parah Jo…, syukur-syukur jangan kau ikuti pola tingkahku waktu dulu, karena aku sendiri sudah tidak lagi melakukan hal-hal yang semacam itu, dan aku telah disadarkan pada kondisi, ketika aku mengalami keterpurukan pada lambungku dan semoga di kampus ini aku tidak menemukan temanku yang dulu, yang pernah merasakan bersama pahit dan manisnya kehidupan di Jakarta dulu, karena jika ada yang tau aku disini, Bisa berabe… aku…”.
“Emangnya kenapa?” tanyaku pada Deden, karena sejak pertama dia bercerita, aku semakin pengin tau saja, apa yang telah dilakukan oleh Deden semasa hidup di Jakarta. “Karena jika ada temanku lama kuliah disini, maka secara otomatis kehidupanku akan kembali seperti dulu lagi, yaitu minum-minuman alcohol, mengkonsumsi psikotropika, melakukan hubungan seksual secara bebas, dan semoga hanya kamu saja yang tau kondisiku semasa aku hidup di perantauan Jakarta sana” ungkap deden dengan penuh harapan agar aku tidak menceritakannya pada teman-teman yang lain, karena itu termasuk privasinya Deden
“Iki Kopine…(ini kopinya)” Ungkap Buk Tom dengan bahasa jawa kental, sambil menyodorkan dua cangkir yang berisi kopi pahit, sambil mengaduk kopi yang ada dalam cangkir aku pun memberanikan diri menanyakan pada Deden “Pernahkah kau melakukan hubungan seksual dengan orang lain selain pacarmu?” “Pernah” ungkap Deden, seolah-olah ungkapannya tidak ada sedikitpun penyesalan didalam dirinya.
Aku semakin penasaran dan semakin menggebu-gebu pula pertanyaan yang akan aku lontarkan pada Deden, karena cerita ini berkaitan dengan kenistaan hidup yang pernah dilakukan oleh seorang pemuda seusia Deden yang hanya lebih cenderung memikirkan nafsu birahi dari pada memikirkan keilmuan, keislaman dan keimanan, seolah-olah keilmuan, keislaman dan keimanan yang pernah ia pelajari semasa di SMA Islam dulu tidak ada manfaatnya dalam arungan kehidupan yang pernah dirasakan di Jakarta.
“Aku betul-betul hina jo….” Ungkap Deden dengan penuh penyesalan. Dan penuh harapan agar Karjo tidak mengikuti pengalamannya yang dulu. “Sudah tau…nanyak!” Jawabku dengan slengekan seperti biasanya ketika aku sedang mengalihkan perhatian cerita temanku yang memang betul-betul serius, karena ada anggapan bahwa orang yang terlalu serius, maka dia akan lebih cepat terlihat tua, atau ada ungkapan lain dari temanku “yen terus methentheng, bakal koyok entut dikareti (kalau terlihat serius kayak kentut diikat tali karet alias tidak terlihat tapi baunya kemana-mana)”.
Semasa kau hidup di Jakarta sudah berapa wanita yang pernah kau setubuhi?” Tanyaku lagi, karena aku pengin tau lebih banyak lagi informasi dari Deden, agar aku lebih tau lagi apakah Deden terkena infeksi Menular seksual atau tidak?, sebab penyakit ini jarang sekali disadari bahayanya oleh masyarakat secara umum. Banyak sudah masyarakat yang terinfeksi Penyakit Menular Seksual dan itu tanpa disadari olehnya jika ia telah terinfeksi  Penyakit yang membahayakan bagi setiap umat manusia lebih-lebih penyakit ini adalah seperti sejarah Gunung es, puncaknya saja yang terlihat namun kaki gunungnya yang begitu besar dan kuat sama sekali tidak terlihat oleh pandangan mata.
Hanya kesenangan yang telah ia lakukan saja, tiba-tiba dia terinfeksi Penyakit Menular Seksual. Jangankan untuk orang yang sering melakukan hubungan seksual secara berganti-ganti, orang yang tidak pernah melakukan hubungan seksual pun bisa tertular Penyakit Menular Seksual HIV/Aids, oleh karena itu perlu penyelidikan secara khusus untuk mendeteksi apakah Deden termasuk orang yang terinveksi Penyakit Menular Seksual ataukah tidak?
“Lebih dari lima orang” ungkap Deden sambil menggerakkan jari-jemarinya untuk menghitung berapa wanita yang pernah ia setubuhi selain pacarnya. “Pernahkah kau pakai kondom, ketika kamu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenismu?” Tanyaku semakin penasaran.
“Kamu tanyanya koq detail begitu, jo…..? memangnya aku ada yang aneh…?” ungkap deden yang juga ikut menyelidikiku, apa maksud dari semua pertanyaan yang aku lontarkan padanya, karena ia telah mengira ada keanehan dalam pertanyaanku.
“Tidak…..” Ungkapku untuk menolak kecurigaannya padaku. “Tapi koq detail banget pertanyaanmu? Sampai aku kewalahan menjawabnya, hahahahahaha” ungkapnya sambil tertawa. “Emang pertanyaannya beruntun apa? Kayak sepur-sepuran jes ejes ejes, Sampai-sampai dirimu kewalahan untuk menjawabnya, hahahahaha” Celethukku sambil tertawa dan memperagakan larinya kereta yang berderet-deret.
“Apa sich….? Yang kau khawatirkan dengan diriku?” Tanya Deden padaku, karena memang Deden adalah termasuk orang yang sudah mengenal dunia bebas di Jakarta, namun apakah dia tau apa akibat yang akan muncul atas perbuatan-perbuatan yang pernah ia lakukan selama ia hidup bebas di Jakarta.
“Begini Den….” Ungkapku dengan serius, karena saat ini aku betul-betul serius, aku khawatir kalau Deden betul-betul mengidap penyakit yang saat ini paling ditakuti oleh seluruh manusia di dunia dan sampai detik ini masih belum ditemukan obatnya, walau sudah ada obrolan-obrolan kosong mengenai obat yang bisa menyembuhkan orang yang terinfeksi HIV/Aids, namun itu masih belum terbukti.
“Wah, serius bener, nich….” Sahut Deden. “Memang ini serius banget den… ini berkaitan dengan kehidupan dan masa depanmu? Pernahkah kau melakukan Hubungan seksual dengan ODHA? Atau pernahkah kamu menggunakan jarum suntik secara bergantian dengan sesama pengguna narkotika dan diantara mereka termasuk ODHA? Atau pernahkah kamu melakukan transfusi darah dengan ODHA?” tanyaku dengan penuh selidik, bagai seorang polisi yang betul-betul kepengin tau tentang informasi kejahatan apa saja yang telah dilakukan oleh seorang penjahat yang telah tertangkap basah olehnya.
“Semuanya pernah aku lakukan, kalau hubungan seksual dengan ODHA aku belum pernah, kayaknya sich…?” Jawab Deden dengan penuh percaya diri seolah-olah dia betul-betul tidak tau maksud pertanyaanku yang penuh dengan penyelidikan itu.
“Kau pernah dengar tentang HIV/Aids?” Tanyaku lagi. “Pernah, itulah yang kepengin kusampaikan padamu, jo….., jika memang aku pernah melakukan sesuatu yang dimungkinkan oleh beberapa orang, bahwa aku termasuk ODHA, maka itu wajar saja, karena proses penularan HIV/Aids semua telah aku lakukan, kalaupun aku tidak tertular HIV/Aids itu hanyalah keberuntungan saja, namun ada beberapa hal yang perlu kau ingat, bahwa tidak semua orang yang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan tertularnya HIV/Aids dapat tertular HIV/Aids, karena proses penularan HIV/Aids saya yakin dengan seyakin-yakinnya kau tau, bahwa proses penularan HIV/Aids adalah salah satunya harus terinfeksi HIV/Aids dan itupun hanya melalui 3 media, pertama, Lewat darah, Kedua, jarum suntik, dan ketiga, hubungan seksual, betul …..betul….betul….?” Ungkap Deden sambil meniru gaya ipin upin yang biasanya setiap pagi di lihat oleh kalangan anak-anak di salah satu stasiun Televisi swasta di Indonesia.
“Betul” ungkapku, karena aku juga pernah sedikit banyak membaca buku yang bercerita tentang jenis dan cara penularan Penyakit Menular Seksual. “Kalau tadi yang kepengin serius kamu, sekarang yang pengin serius aku…” Ungkap Deden sambil memukul bahu dan meledhekku.
“Waduh banget seriuse, sampai-sampai kopinya lupa di seruput dan rokoknya lupa untuk dihisap, kalau begini caranya uangmu awet Jo, pemasukan terus, sedangkan pengeluaran sedikit” Ungkap Deden. “Wah jelas no….ben ndang cepet lungo kaji” ungkap Karjo membalas sambil menuangkan cangkir yang berisi wedhang kopi ke piring kecil dibawah cangkirnya.
Deden pun ikut menuang kopi dalam piring kecil, menyeruput lalu menghisap sebatang rokok yang telah ia nyalakan sekitar 2 menit yang lalu,”Jo kamu sudah punya pacar?” Tanya deden mengembalikan pertanyaanku yang pernah aku lontarkan padanya untuk menyelidiki apa saja yang pernah ia lakukan berkaitan dengan dunia yang bebas, dunia yang penuh dengan clubbing, dunia yang penuh dengan torehan-torehan tinta hitam, dunia yang penuh dengan kesenangan dan kegembiraan kawan-kawan muda. “Sudah” jawab Karjo dengan penuh percaya diri dan gagah seperti komandan upacara yang sedang memberikan aba-aba “siap grak” pada pelaksanaan upacara bendera.
Dedenpun menceritakan apa yang pernah ia lakukan terhadap pacarnya terutama berkaitan dengan pemakaian 1 jarum suntik secara bergiliran untuk mengkonsumsi Narkotika, melakukan hubungan seksual pada lebih dari 5 orang termasuk WTS (Wanita Tuna Susila) yang ada di tempat-tempat khusus di kota-kota besar, bahkan ia pun pernah melakukan transfusi darah pada dirinya yang pada waktu itu ia tergeletak lemas tak sadarkan diri atas kecelakaan yang menimpanya diwaktu mengendarai sepeda motor disekitar kampus.
“Jo….” Sapa Deden sambil meraba-raba pundak Karjo. “Biarlah aku yang merasakan pahit dan manisnya kehidupan, dan aku berharap janganlah kau lanjutkan kesukaanmu itu untuk mengkonsumsi minum-minuman keras, karena jika kau ketahuan oleh teman-temanmu meminum-minuman keras, maka kau akan diajak untuk ikut serta sama mereka, dan ketika kau terlibat secara langsung, maka kau akan sulit untuk melepaskannya, percayalah. Biarlah aku saja yang pernah merasakannya, sekali kau terjerat sesuatu yang bersifat negatife, maka kau akan melakukannya secara terus menerus, karena melakukan sesuatu hal yang negative rasanya sangat nikmat sehingga kita akan merasakan ketagihan dikemudian harinya” Ungkap Deden sambil melanjutkan pembicaraannya.
“Bersikaplah yang wajar, ketika kau berpacaran janganlah kau pernah menemui pacarmu, kecuali jika kau memiliki masalah dengannya, atau ketika mengungkapkan isi hatimu padanya, karena semakin sering kau bertemu, maka akan semakin sering pula kau ingin menemuinya, jika kau sering menemuinya, maka janganlah pernah kau berharap tidak ada pihak ketiga berada disisimu, dan jika pihak ketiga sudah berada dekat dengan posisimu, maka janganlah pernah berharap kau akan mampu membendung rasa nafsumu pada pacarmu” ungkap Deden melanjutkan pembicaraannya.
“Wah… ngobrol ya ngobrol, tapi kopinya sambil diseruput, rokoknya juga disedot, kata mak tom, “emange ngomong opo toh? Kok koyoke serius banget?” ungkap mak tom sambil memperingatkan kopi yang dihadapanku, karena memang tidak biasanya aku minum kopi disitu sampai lupa meminumnya alias satu cangkir habisnya lama.
“O… ya jo perlu kau ingat juga dan janganlah pernah kau ceritakan ini pada siapapun, bahwa aku sebenarnya telah terinfeksi Penyakit HIV/Aids sejak 2 tahun yang lalu, namun hanya kaulah temanku yang mampu memberikan semangat hidup pada diriku. Aku dipindahkan kesini tak lain dan tak bukan hanyalah pembuangan dari nyokap dan bokapku, karena mereka malu memiliki anak sepertiku, anak yang terinfeksi HIV/Aids, dan anak yang selalu merusak harga diri keluarga, silahkan kau pikirkan dan kau renungi, jika kau ingin sepertiku ndak usah susah-susah, kau harus mengkonsumsi narkoba,  melakukan hubungan seksual secara bebas, atau melakukan transfusi darah, namun lukai saja tanganmu, dan aku akan melukai tanganku, lalu tempelkan tanganmu dengan tanganku, saya jamin pastilah kau akan tertular oleh penyakit yang sangat ditakuti oleh seluruh manusia di dunia ini” Deden melanjutkannya dengan penuh serius.
“Waduh malah aku kayak seorang guru yang suka menasehati muridnya. Ayo… kita kuliah….biar kayak mahasiswa beneran. hahahaha” ungkap Deden sambil tertawa, “Sudah bu’ semuanya hitung, aku kopi dan sebungkus rokok, kau apa Den, lapor sendiri saja” ungkap Karjo sambil menyeret Deden untuk segera melaporkan apa yang telah ia makan dan minum di Kantin Buk Tom. “Kopi, tempe, dan roti buk” ungkap Deden sambil memegang meja Kantin.
“Semua habis Dua Belas Ribu Lima Ratus” sambut Buk Tom tanpa harus menghitungnya lewat kalkulator, karena otak Buk Tom dalam ilmu hitung menghitung sudah sangat cos pleng dan mujarab, seperti Guru Matematika yang lagi membelajari Tambah-tambahan pada muridnya. “Ini….Bu” ungap Deden, “Ndak usah Bu, masukin aja ke Bonku biar nambah banyak, hahahahaahah, nanti kalu sudah gajian pasti aku lunasi” Jawab Karjo dengan slengekan. “Ya…” Jawab Bu Tom melanjutkan pembicaraan diantara mereka.
“O…. ya kau kuliah atau langsung pulang Den?” Tanya Karjo. “Aku mau latihan teater dulu….” Sambung Deden. “Oke…. Lah kalau gitu kita berpisah disini, nanti kita pulang bareng ya…..”ungkap Karjo. “Beres…. Siiiiip” Jawab Deden sambil mengacungkan jari jempolnya.


Sekian dan Terima kasih


Sarang, 12 April 2010

Selasa, 06 April 2010

Risalah Kasih Teruntuk Sobat Sekaligus Guru Kecilku Di Tempat Damainya


By; Ibnu Bahari Sarangeyoo

Kala sang lembayu mulai pudarkan sinar terangnya kembali ke pelukan sang perinduan, tiupan udara malam mulai berikan celotehan desas desus menenggelamkan jiwa yang kusut. Tanpa rasa hatipun terdampar dalam kekalutan kebingungan yang mendalam dan tak mendasar dalam diri. Degupan denyut jantung bak menggetarkan isi rongga-rongga tubuh yang berikan sedikit ruang gerak untuk meledakkan bagian inti kekuatan manusia. Lambaian dedaunan hijau beraromakan wewangian buah khuldi mengajak hawa sesat untuk menuruti segala keinginan yang dapat menjerumuskannya ke jurang kesengsaraan. Warna-warni lelampuan kota Atlas Semarang meramaikan suasana hingar bingar gemerlap penjuru kota. Setiap pojok-pojok jalan simpang lima, para aktivis pedagang entah dari kalangan muda maupun tua, saling menyibukkan diri meneriakan 'yel-yel' menawarkan barang dagangan ke setiap orang yang lalu lalang disekitarnya. Tak ketinggalan pula sobat-sobat jalanan menjajakan suaranya di tempat rambu lalu lintas yang selalu mengedipkan mata ke sang pelanggan setia. Bocah gembel itu hanya bermodalkan beberapa tutup botol bekas yang dilempengkan dan dilobangi kemudian ditambatkan diatas kayu dengan sepicis paku karatan. Nyanyian-nyanyian dari suara paruh membuat jutaan pendengar memberikan tafsiran dan penilain yang berbeda menurut masing-masing kepribadiannya. Suasana global sosial berikan makna kehidupan yang menggetarkan 'sebongkah daging' yang paham akan arti sebuah hidup.

Sobat kecil, entah apa yang dapat aku berikan untuk diri sobat yang mana telah memberikan sekilas gambaran akan hakekat sebuah kehidupan yang sebenarnya. Padahal jarak umur antara sobat dan aku sangatlah jauh, tapi engkau lebih mengerti akan sisi serta lika-liku kehidupan yang sebenarnya.

I will remember it, ketika sobat mengajak kesebuah tempat terpencil terlindung dari gangguan para penertib kota. Di daerah kekuasaanmu itulah yang mana sering kau sebut sebagai sebuah kerajaan terindahmu, ku merasakan getaran jiwa yang kuat untuk menikmati serta menghayati akan makna hidup didunia. Kau hanya menunjukkkan sekotak tempat tinggal yang beratapkan seng-seng bekas bahkan tembok yang terbuat dari bahan kardus yang mungkin kau ambil dari tempat pembuangan sampah. Tatkala ku tanyakan akan maksud dan tujuanmu mengajakku untuk bertandang kerumahmu padahal dalam pergulatan bathinmu, engkau mengerti akan posisi dan sifat serta kebiasaanku yang 'jijik' akan kehidupan para kaum seperti dirimu, ku tak biasa singgah ke gubug yang penuh dengan liaran tikus maupun bau anyir dari selokan-selokan yang tersumbat beberapa hari tak pernah ada yang pernah perduli akan hal seperti itu, hanya kau dan kaummu sajalah yang menganggap itu adalah sebuah anugerah terindah yang sedang dan baru diberikan Tuhan untukmu serta untuk saudara-saudara sekelilingmu. Tapi ku mengerti saat ketika kau menjawab dengan sebuah falsafah hidup seorang kaum sepertimu bahwasanya "aku hidup dan akan mati pula, kaya dan miskin itu semua hanya sebuah titipan, ku tak kuasa tuk mengembannya dalam kesedihan, nikmati hidup dengan cinta-Nya, takkan pernah sang kekasih melepaskan kesengsaraan pada kekasih yang dicintainya, ku korbankan hanya untuk meraih ridho cinta kasih-Nya"

Dalam kesendirian, kau selalu menikmati hasil kerja kerasmu, kesengsaraan malah membuat hatimu tenang tanpa ada rasa beban timbul dari balik dadamu. Kau berikan pencerahan dalam qolbu yang senantiasa kekeringan akan rasa sayang dan cinta dari yang dicintainya. Ku hanya bisa menghamburkan harta yang tak sepatutnya ku biarkan begitu saja tanpa ada hasil yang bermanfaat untuk kepentingan sesama, sedangkan kau bisa memanfaatkan se-Sen keuangan guna mencukupi kebutuhanmu. Tak sepatutnya kau hidup dalam jurang peperangan bathin dalam kesedihan menghadapi gejolak kehidupan yang makin merajalela menjajah semua lini kehidupan.

Sobat hanya dalam semalam saja kau bisa mengguggahkan hatiku untuk bertekuk lutut dihadapanmu, kembali bersembah sujud pada keharibannya. Obat haram yang sedari tadi tergenggam kuat untuk kuberikan padamu biar kau juga ikut merasakan kenikmatan duniawai hancur lebur bagaikan debu yang sedang bermadu kasih terbang tanpa ada beban yang tersangkut dalam pundaknya.

Sobat pertemuan antara kita yang hanya sesingkat ini kau begitu membuat diriku sadar akan arti kehidupan yang sebenarnya. Tak sepatutnya diriku sombong dan berjalan secara congkak diatas bumi Tuhan. Jika sang Tuhan menginginkan diriku untuk hancur maka waktu itu juga tubuhku akan hancur tak berbentuk. Tidak hanya itu saja, gunung-gunung yang berdiri kokoh berakarkan sampai dasar tanah berkilo-kilo meter juga akan lebur jika sang penguasa menghendakinya bagaikan kapas yang tertiup angin. Mengapa aku harus takluk dihadapanmu wahai manusia, yang ku anggap tangan-tangannya penuh dosa dan kotoran manusia akibat kehidupan yang engkau jalani keseharianya, tapi kau berikan kesejukan pada tempat lain dalam jiwa qolbuku dan qolbumu. Engkau lebih mulya dari pada manusia yang berjubah dan bersorban bahkan kau lebih mulya dari pada sang kyai yang hanya karena nasabnya atau kecerdikanya dalam otaknya. Ku lihat jiwamu suci mengajarkan pengetahuan yang tertinggi yang jarang manusia bisa menguasainya. Bahkan kini peci-peci serta sorban-sorban hijau itu diperjualbelikan diatas 'meja perjudian'. Sobat kau adalah maha guruku yang mau untuk tidak membedakan akan harta dan tahta, kau berani melawan hatimu yang menyesatkan guna kepentingan manusia yang jauh lebih kotor dari wujud aslimu, kau tak merasa jijik berkawan serta bersaudara dengan diriku yang berlumuran darah 'iblis' dan berwatak 'hewan'. Kini guruku tertidur pulas bersama bagian tubuhnya yang terambil oleh malaikat. Seorang bidadari telah puas melahirkan jiwamu yang suci. Bidadari itu pasti beruntung melahirkan serta mempunyai putra bangsa sepertimu. Engkau pelita hidup, mampukah sang murid hinamu ini meneruskan perjuangan dan cita-citamu, membawa asma Tuhan dalam dada.

guru, aku teringat ketika masih kecil kakekku sering bercerita dan berpesan "belajarlah walaupun sekecil apapun, ambillah kebenaran walaupun itu dari mulutnya binatang. Janganlah engkau merasa hina jika diajari orang yang lebih hina darimu, karena dalam diri manusia ada titik terkecil yang sering luput dari pandangan manusia lainnya". Seorang ulama pojok Timuran juga pernah di berikan petunjuk kebenaran oleh Sang Penguasa Alam dengan melewati seorang wasilah yang terbebas akan siapa jati dirinya alias gendeng

guru, jika engkau beragama hindu dan hidup di India maka sudah pasti kau akan dibakar dan abumu akan dihanyutkan diatas aliran sungai gangga. Karena dalam kesendirianmu engkau memilih Islam maka jasadmu dibiarkan dalam liang kubur bersama saudaramu yang asli. Manusia itu terbentuk dari tanah maka akan kembali bersama tanah. Itulah agama kebenaran yang sering mengajari kita dan itulah sebuah hakekat yang sebenarnya yang tak seharusnya kita campakkan aka tetapi kita harus menyadari bahwasanya manusia di dunia ini terbentuk dari segenggam tanah yang baunya bagaikan air ‘comberan’ yang berbusuk. Aku sebagai muridmu walaupun derajat duniamu dibawahku, tapi kau lebih mulya dalam pandangan Allah. Karena keagunganmu mengajariku akan kehidupan yang sebenarnya. Kini aku tak bisa bersamamu dan tak mampu melaksanakan cita-citamu karena kuingin berubah merubah dunia sesatku, ku hanya bisa mencoba menata kembali jiwaku yang hilang bersama hilangnya fatamorgana kebenaran dengan tetesan ilmu yang kau turunkan walaupun hanya semalam di simpang lima.

Guru, kutulis sebuah risalah pendek akan perjalanan dakwah semalammu di simpang lima bersama bintang yang bergemerlapan diatas sang surya. Sehingga sepucuk risalah ini akan kuhanyutkan ke samudera bersama dengan berjalannya rohmu menuju kehariban-Nya. Ku hanya berharap dan bero'a semoga engkau selalu mendapatkan tempat disisi-Nya dan ajaranmu selalu kekal serta tak kan pernah terpunahi, walaupun ku hanya bisa berbuat demikian. Tuhan selamatkan risalah guruku dalam botol ketakwaan dan keimanan. Hanya kepadamulah aku bersimpuh dan hanya kepadamulah aku memohon pertolongan.




Muhandisin Post: 11022010 11 53 Wik
Collected by Ibnu Bahari at Cairo, 12 Oktober 2004.

Awas; Sekolah Bisa Bikin Kita Kecanduan


Oleh; Imam Labib H. R.

Ada pertanyaan besar yang harus dijawab. Benarkah sekolah itu bisa menjadi candu buat kita? Ada pepatah yang sering penulis dengarkan “Wong tresno jalaran songko kulino” orang bisa jatuh hati karena ada biasa. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Begitu pula yang terjadi dengan sekolah. Sekolah merupakan obat bius yang bisa membuat seseorang jatuh hati dan dapat dirasakan dengan kenikmatan tersendiri bagi si pecandu.

Seorang pecandu obat-obat terlarang maupun yang kecanduan menghisap rokok hasrat aslinya hanyalah ingin mencoba serta merasakan hal yang sedikit dan baru bagi dia. Pertama kali mencoba si pemakai tidak ambil pusing dia hanya cukup mengambil sesuatu itu kemudian di coba dan dirasakannya. Setelah merasakan hasil percobaan yang pertama ia akan mencoba untuk kedua kalinya dan seterusnya. Walhasil, dari hasil percobaan tersebut si pecandu mendapatkan rasa kepuasan tersendiri dengannya kemudian ia akan menjadi orang yang ketergantungan. Tak heran jika orang yang sudah kecanduan obat-obatan terlarang maupun rokok untuk dapat menghilangkannya sangatlah sulit dan harus melewati berbagai tahapan sebagai penyembuhannya.

Sekolah bisa menjadikan candu bagi kita. Hanya saja kita tidak mau untuk mencoba dan merasakan nikmatnya bersekolah. Padahal dalam hakekatnya awal dari keberanian untuk mencoba merupakan langkah awal mencapai keberhasilan. Terkadang kita sangat terpengaruhi dengan pemikiran yang menjadikan kita tidak mau melangkah untuk selanjutnya. Sering di benak kita timbul rasa bahwasanya sekolah itu hanyalah melakukan sebuah kerjaan yang sangat melelahkan dan membosankan. Statement tersebut seharusnya sudah dibuang jauh-jauh dari kita. Menurut Ari Ginanjar Agustian bahwasanya pikiran bukanlah sebuah wadah untuk diisi, melainkan api yang harus dinyalakan. Jadi untuk apa kita hanya dapat memikirkan yang ada dalam diri kita akan tetapi tidak mau untuk berbuat sesuatu dan diam tak bergerak. You don’t think what you are but you are what you think.

Menjadi seorang pecandu sekolah bukanlah hal yang sulit tapi bagaimana konsep kita agar mau mencoba memaksa dan membiasakan diri untuk bisa ke sekolah. Perubahan bukanlah hal yang menjadi beban jika mau menikmatinya dengan senikmat-nikmatnya. Belajarlah tidak hanya kepada orang-orang yang berbuat baik saja akan tetapi belajar itu tidak mengenal waktu, ruang dan tempat. Ambillah hikmah dari para pecandu barang-barang terlarang. Bagaimana mulanya ia bisa mendapatkan derajat “Pecandu”?
“ Apakah kalian tidak mau berfikir...”

Wallahu A’lam.

REFLEKSI APRILIAN

Oleh : Jujuxs Ketjink

Dengan telah tertangkapnya Gayus H. Tambunan, belum terungkapnya kasus century dan telah ditangkapnya makelar-makelar kasus, sampai pada koruptor-koruptor baru, maka ciut sudah nyali-nyali para koruptor Indonesia yang akan melakukan pemanipulasian keuangan baik di tingkatan Nasional maupun tingkatan Lokal seperti daerah atau Propinsi, walau sudah ada percontohan yang demikian masih saja membuat jera bagi para koruptor-koruptor baik yang ada di tingkatan pusat maupun di tingkatan daerah.

Pencopotan rantai mafia perpajakan dan Makelar kasus bukan berarti akan mampu menurunkan angka kasus korupsi di Indonesia, justru akan menambah karena seperti yang disampaikan oleh obrolan-obrolan di Warung Kopi oleh para pemuda-pemuda bahwa : "Maksus (Makelar Kasus) mungkin saja sudah hilang, namun yang masih meroket dan naik daun adalah Maksal (Makelar Proposal) yang mungkin setiap tahunnya akan bertambah, yang semula 10% menjadi 30% bahkan mungkin akan lebih.

Kolektivitas kasus yang semacam ini akan menjadi alternatif lain dalam melegalkan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Semoga kasus-kasus yang terjadi saat ini akan menjadi percontohan bagi orang-orang maupun lembaga-lembaga di pemerintahan saja, melainkan di lembaga-lembaga pendidikan pun juga harus ada perombakan yang signifikan terutama pada pendidikan moral siswa yang mengarah pada Pendidikan Moral Pancasila agar mereka betul-betul berfikir apa untung dan ruginya terhadap negara jika kasus korupsi marak di Indonesia, dan bagaimana nasib negara nantinya jika masyarakatnya sudah tidak memiliki lagi pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Inilah saatnya kita harus mereview ulang atas kasus-kasus yang sering terjadi di Indonesia, mulai sering terjadinya banjir di beberapa propinsi, longsor di beberapa kebupaten di Indonesia, maraknya korupsi di beberapa daerah di Indonesia, sampai pada meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kepadatan penduduk, meningkatnya perselisihan sesama masyarakat yang di latar belakangi persoalan sepele, meningkatnya kepentingan-kepentingan, meningkatnya lobi-lobi politik yang semuanya hanyalah mengumbar suara kosong saja, meningkatnya pelacuran dan penyakit menular seksual, dan lain sebagainya. Apakah semua kasus tersebut memang wajar terjadi di Negara kita yang lebih mengedepankan nilai moral dari pada nilai non moral, atau negara yang lebih mengedepankan nilai-nilai etika dari pada estetika? ataukah kasus itu wajar terjadi di Negara yang mengedepankan nilai-nilai religi dari pada nilai-nilai pengetahuan? Jika kalau memang itu wajar ya ..... sudah, dan jika itu tidak wajar bagaimana kita bersama-sama akan merubahnya?

Memang ada benarnya juga perdebatan-perdebatan yang kosong dan dilakukan oleh beberapa orang yang mengatas namakan dirinya pandai dan mampu memimpin daerah "buat apa kita berfikir tentang masyarakat, toh dia tidak akan pernah memberikan konstribusi apa-apa pada kita", sehingga benar pula yang dinyanyikan oleh Slank "Tong kosong nyaring bunyinya, banyak orang omong kosong tak ada buktinya" diperkuat lagi oleh ungkapan Mangunwijaya "Semakin orang atau masyarakat itu pandai, maka dia orang (masyarakat) tersebut akan memangsa saudaranya sendiri". Ini menunjukkan bahwa diri kita masih hanya berfikir untuk kepentingan perseorangan dan kelompok kita saja dari pada berfikir untuk masyarakat secara luas, dan hanya berfikir apa yang saya dapatkan dari masyarakat dari pada berfikir apa yang akan aku berikan pada masyarakat.

Realitas yang demikianlah yang mampu menghegemoni seluruh kalangan masyarakat untuk selalu acuh tak acuh pada kejadian-kejadian yang sering terjadi disekeliling kita, "Nggo opo awak dewe teko, wong gak onok amplope wae, malah awak dewe sing ngamplopi je, lak tekor terus, kejienen" inilah ungkapan-ungkapan yang sering terlontar di masyarakat ketika mereka mendapatkan undangan walimahan, atau undangan yang lainnya dan berkaitan dengan "buwoh" (bahasa Jawa), atau ketika pada masa pemilihan baik itu pemilihan presiden, gubernur sampai pada bupati "nggoh opo awak dewe nyoblos, wong gak ono amplope wae, kok nek dek'e dadi yo bakale lali karo awak dewe sing dadekno"

Ungkapan-ungkapan tersebut adalah bentuk penolakan masyarakat, karena memang mereka sudah jenuh terhadap konstalaasi kehidupan yang terjadi disekitarnya, dan pada akhirnya segala sesuatunya akan diperhitungkan dengan materialistik, kalau dalam bahasa jawa "Kabeh iku kudhu onok duwike', nek gak ono duwike gak usah lah" (Semua itu harus ada uangnya, kalau tidak ada uangnya tidak usah).

Apakah budaya semacam ini akan kita teruskan atau akan kita hentikan semua itu tergantung pada keinginan dan tindakan dan bukan tergantung pada sebuah keinginan atau fikiran kita yang ingin merubahnya namun tidak ada tindakan sama sekali, dan jika ini kita larutkan dalam euforia-euforia secara terus menerus, maka tak salah jika pendidikan moral pancasila dan pancasila sebagai padangan hidup bangsa akan hilang dan tidak ada yang mengenalnya, bahkan jumlah sila pada pancasila pun dia tidak akan tau, karena tidak pernah diajarkan baik oleh guru maupun masyarakatnya.

Tulisan ini hanyalah sebuah tulisan kecil dari orang ndeso yang betul-betul gerah terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia, dan mohon untuk diacuhkan, karena tulisan ini tidak ada manfaatnya bagi diri kita, keluarga, maupun masyarakat kita. sekian dan terima kasih atas perhatian dan kritikannya kami tunggu dalam edisi ini.